•02.49
Status Anak di Luar Nikah
Definisi nikah menurut para ulama Fiqih ialah akad yang diatur oleh agama yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri (A. Rahman al-Jaziri, Al-Fiqhu `ala Mazhahib al-Arba`ah, jilid IV hal 1-3) . Menurut UU NO 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I pasal 1 ; perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.
Perbedaan mendasar di antara dua definisi tersebut adalah, dalam konsep agama (Islam) nikah dengan syarat dan rukun tertentu yang sesuai hukum agama menjadikan kehalalan hubungan suami-isteri. Sementara dalam konsep negara, perkawinan dengan syarat administrasi yang telah diatur negara menjadikan hubungan suami-isteri telah “ resmi”.
Status “ kehalalan “ hubungan suami isteri setelah melangsungkan akad nikah menurut Islam itulah yang menjadi inti ibadah karena menjangkau hubungan tanggung jawab manusia kepada Allah SWT, sementara status “resmi” menurut UU positif hanya mengikat secara hukum ketaatan masyarakat terhadap hukum negara.
Status Anak di Luar Nikah Menurut UU Positif
Di dalam UU No 1 th 1974 pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian UU ini dijudicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya. Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU N0 12 tahun 2006 tentang Kewargannegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).
Status Anak di Luar Nikah Menurut Islam
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah saw bersabda, “ Al-waladu li al-firaasyi, walil`aahiri alhajaru” artinya “ Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu.” Status kewalian dalam hadis tersebut adalah dalam konteks hubungan pernikahan agar anak yang dilahirkan kelak memiliki identitas yang jelas siapa ayah nasabnya.
Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).
Dari kitab referensi yang sama, pendapat ini disanggah oleh Syafi`iy dan Malik yang didukung jumhur ulama, menurut mereka jika anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut.
Mereka berpedoman pada pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menghentikan rencana khalifah Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan zina yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan (kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)
Tegasnya, meskipun si ibu melangsungkan akad nikah, bila kurang dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya.
Kesimpulan
Inti yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah :
1. Bahwa pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab
2. Anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah ibunya, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya
3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Abu hanifah haram dinikahi ayah biologisnya,
4. Bila negara menetapkan UU yang mengatur status anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan orang tua biologisnya maka pengertian “ perdata “ tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut :
a- Untuk kepentingan kemanusiaan, seperti tanggung jawab nafkah untuk anak, biaya kesehatan dan pendidikannya.
b- Dalam hal menghormati nilai kemanusiaan sang anak, meskipun ia dilahirkan di luar perkawinan, maka status anak tersebut bukan “anak haram” atau “ anak zina” karena “haram” tidak berhubungan dengan benda, tetapi hanya berhubungan dengan perbuatan (zina yang dilakukan orang tua biologisnya). Demikian pula Allah tidak akan menghukum seseorang karena dosa yang dibuat orang lain.
c- Untuk kepentingan administrasi negara dengan tetap menjaga agar tidak terjadi benturan dengan hukum agama. Dalam hal ini bila negara berkepentingan untuk mengadministrasi identitas anak yang harus dituangkan dalam akta kelahiran, tidak boleh mencantumkan nama anak laki-laki diberi “bin” atau nama anak perempuan dengan “ binti” yang dihubungkan kepada ayah biologisnya.
Semoga dengan UU baru ini masyarakat dapat mengendalikan terjadinya pelanggaran susila, pelanggaran agama dan pelanggaran kemanusiaan di negara tercinta, Indonesia
Definisi nikah menurut para ulama Fiqih ialah akad yang diatur oleh agama yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri (A. Rahman al-Jaziri, Al-Fiqhu `ala Mazhahib al-Arba`ah, jilid IV hal 1-3) . Menurut UU NO 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I pasal 1 ; perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.
Perbedaan mendasar di antara dua definisi tersebut adalah, dalam konsep agama (Islam) nikah dengan syarat dan rukun tertentu yang sesuai hukum agama menjadikan kehalalan hubungan suami-isteri. Sementara dalam konsep negara, perkawinan dengan syarat administrasi yang telah diatur negara menjadikan hubungan suami-isteri telah “ resmi”.
Status “ kehalalan “ hubungan suami isteri setelah melangsungkan akad nikah menurut Islam itulah yang menjadi inti ibadah karena menjangkau hubungan tanggung jawab manusia kepada Allah SWT, sementara status “resmi” menurut UU positif hanya mengikat secara hukum ketaatan masyarakat terhadap hukum negara.
Status Anak di Luar Nikah Menurut UU Positif
Di dalam UU No 1 th 1974 pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian UU ini dijudicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya. Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU N0 12 tahun 2006 tentang Kewargannegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).
Status Anak di Luar Nikah Menurut Islam
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah saw bersabda, “ Al-waladu li al-firaasyi, walil`aahiri alhajaru” artinya “ Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu.” Status kewalian dalam hadis tersebut adalah dalam konteks hubungan pernikahan agar anak yang dilahirkan kelak memiliki identitas yang jelas siapa ayah nasabnya.
Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).
Dari kitab referensi yang sama, pendapat ini disanggah oleh Syafi`iy dan Malik yang didukung jumhur ulama, menurut mereka jika anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut.
Mereka berpedoman pada pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menghentikan rencana khalifah Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan zina yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan (kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)
Tegasnya, meskipun si ibu melangsungkan akad nikah, bila kurang dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya.
Kesimpulan
Inti yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah :
1. Bahwa pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab
2. Anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah ibunya, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya
3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Abu hanifah haram dinikahi ayah biologisnya,
4. Bila negara menetapkan UU yang mengatur status anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan orang tua biologisnya maka pengertian “ perdata “ tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut :
a- Untuk kepentingan kemanusiaan, seperti tanggung jawab nafkah untuk anak, biaya kesehatan dan pendidikannya.
b- Dalam hal menghormati nilai kemanusiaan sang anak, meskipun ia dilahirkan di luar perkawinan, maka status anak tersebut bukan “anak haram” atau “ anak zina” karena “haram” tidak berhubungan dengan benda, tetapi hanya berhubungan dengan perbuatan (zina yang dilakukan orang tua biologisnya). Demikian pula Allah tidak akan menghukum seseorang karena dosa yang dibuat orang lain.
c- Untuk kepentingan administrasi negara dengan tetap menjaga agar tidak terjadi benturan dengan hukum agama. Dalam hal ini bila negara berkepentingan untuk mengadministrasi identitas anak yang harus dituangkan dalam akta kelahiran, tidak boleh mencantumkan nama anak laki-laki diberi “bin” atau nama anak perempuan dengan “ binti” yang dihubungkan kepada ayah biologisnya.
Semoga dengan UU baru ini masyarakat dapat mengendalikan terjadinya pelanggaran susila, pelanggaran agama dan pelanggaran kemanusiaan di negara tercinta, Indonesia
0 komentar: