•07.12
MANTERA PERTAPA
( Teruntuk Adiku M Witono Satrio Sapujagad dan anita nurwarniasih )
Atas nama jiwa,
kutitipkan kata setelah perjalanan malam
( Teruntuk Adiku M Witono Satrio Sapujagad dan anita nurwarniasih )
Atas nama jiwa,
kutitipkan kata setelah perjalanan malam
aku terkantuk kantuk lalu terlena pada khayal yang mengajakku pulang kampung,
kau ada disana menungguku dibawah cahaya rembulan yang samar,
ah..jalanan ini begitu semak,
lama sekali tak dilewati rasa,
kanan kiri ilalang sudah bercabang
pohon beringin bahkan telah merimbuni hati,
entah bagaimana ini harus kuceritakan
agar kau tak salah menterjemahkan kalimat mantera seorang pertapa,
sebenarnya,
akulah yang bisa salah baca
bila tak segera kuingat pesanmu tentang lidah yang seadanya
tanpa pemanis rasa atau pemerah bibir yang sudah lama kau tinggalkan...
Didepanmu aku berdiri,
kukatakan apa yang tak dikatakan orang,
bukan karena aku merasa paling berhak atas ucapanku,
tapi karena putihnya bahasa yang kumiliki
cuma itu adanya...
sekarang tengoklah kesekelilingmu,
begitu banyak wajah tengadah,
menyantunkan harapan,
buaian kasih,
bahkan ada juga yang lirih menanti sedih...
itu mereka ,
bukan aku...
Adikku,
kita sudah begitu jauh bercerita,
kurasa tak akan ada ujungnya ,
maka kupeluk dengan penuh kasih semua deritamu,
kurasakan seperti lempengan pilu
meronta didasar kekaraman jalan hidup..
ya, sepertinya nasib tak memihak padamu,
semua pun berkata begitu..
tapi jauh sebelumnya
aku pun sudah membaca jalan takdir keberuntunganmu,
meski saat itu kau yakin tak yakin...
maka kedatangaku kali ini ingin menegaskan kembali..
kaulah BATU KARANG itu..
maka tak ingin kumelihatmu kelam,
apalagi karam, aku tak hendak
jadilah selembut dan setegar bicaramu 10 puluh tahun lalu..
karena sudah subuh,
aku pamit dulu, kataku
sambil menyeka airmatamu yang mengalir tak henti...
jadilah pemenang, adikku
kau ada disana menungguku dibawah cahaya rembulan yang samar,
ah..jalanan ini begitu semak,
lama sekali tak dilewati rasa,
kanan kiri ilalang sudah bercabang
pohon beringin bahkan telah merimbuni hati,
entah bagaimana ini harus kuceritakan
agar kau tak salah menterjemahkan kalimat mantera seorang pertapa,
sebenarnya,
akulah yang bisa salah baca
bila tak segera kuingat pesanmu tentang lidah yang seadanya
tanpa pemanis rasa atau pemerah bibir yang sudah lama kau tinggalkan...
Didepanmu aku berdiri,
kukatakan apa yang tak dikatakan orang,
bukan karena aku merasa paling berhak atas ucapanku,
tapi karena putihnya bahasa yang kumiliki
cuma itu adanya...
sekarang tengoklah kesekelilingmu,
begitu banyak wajah tengadah,
menyantunkan harapan,
buaian kasih,
bahkan ada juga yang lirih menanti sedih...
itu mereka ,
bukan aku...
Adikku,
kita sudah begitu jauh bercerita,
kurasa tak akan ada ujungnya ,
maka kupeluk dengan penuh kasih semua deritamu,
kurasakan seperti lempengan pilu
meronta didasar kekaraman jalan hidup..
ya, sepertinya nasib tak memihak padamu,
semua pun berkata begitu..
tapi jauh sebelumnya
aku pun sudah membaca jalan takdir keberuntunganmu,
meski saat itu kau yakin tak yakin...
maka kedatangaku kali ini ingin menegaskan kembali..
kaulah BATU KARANG itu..
maka tak ingin kumelihatmu kelam,
apalagi karam, aku tak hendak
jadilah selembut dan setegar bicaramu 10 puluh tahun lalu..
karena sudah subuh,
aku pamit dulu, kataku
sambil menyeka airmatamu yang mengalir tak henti...
jadilah pemenang, adikku
0 komentar: