•07.41
TENTANG KEMATIAN
Tentang sebuah kematian
Tanpa tiang bendera
Atau tanda-tanda
Juga kabar-kabar
Hadir di celah pagi malam
Di sela tarik dan desah
Pada ujung-ujung waktu tanpa detak
Juga pangkal-pangkal sudut ruangan
Bahwa Tuhan memberi kertas
Dengan garis-garis tebal peringatan
Akan wicara kuasa yang takkan bisa tersentuh
Oleh sesuatu yang halus
atau sekecil apapun
Kemudian,
Untuk alam
Juga geliat-geliat nyawa yang dititipkan
Bersediakah bila
Tuhan memintamu untuk pulang?
Tentang sebuah kematian
Tanpa tiang bendera
Atau tanda-tanda
Juga kabar-kabar
Hadir di celah pagi malam
Di sela tarik dan desah
Pada ujung-ujung waktu tanpa detak
Juga pangkal-pangkal sudut ruangan
Bahwa Tuhan memberi kertas
Dengan garis-garis tebal peringatan
Akan wicara kuasa yang takkan bisa tersentuh
Oleh sesuatu yang halus
atau sekecil apapun
Kemudian,
Untuk alam
Juga geliat-geliat nyawa yang dititipkan
Bersediakah bila
Tuhan memintamu untuk pulang?
TENTANG MAUT
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
TUBUH TANPA RUH
tubuh itu
tanpa ruh. nyebarkan duka
melayat bunga dari seluruh kampung
(dari sini perjalanan masih panjang
bagi tubuh tanpa ruh
yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan
biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)
tubuh itu
tanpa ruh
bekukan hujan di awan
sepanjang hari
sementara dari kamar
netes kenang; siapa bisa
menghapus gambar tangan
di dada?
tubuh itu
tanpa ruh. nyebarkan duka
melayat bunga dari seluruh kampung
(dari sini perjalanan masih panjang
bagi tubuh tanpa ruh
yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan
biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)
tubuh itu
tanpa ruh
bekukan hujan di awan
sepanjang hari
sementara dari kamar
netes kenang; siapa bisa
menghapus gambar tangan
di dada?
0 komentar: