Orang itu berjalan diantara hujan dan harapan doa
Disela-sela musim hujan ini dan di saat Allah menurunkan air segarnya dari langit, hampir kebanyakan manusia menikmatinya dengan mencari kehangatan di rumahnya atau bahkan tidur nyenyak di sangkar hangatnya. Lain halnya dengan apa yang dilakukan kakek itu yang ternyata masih memiliki tanggungan anak kecil. Secara diam-diam kakek tersebut keluar dari rumah setelah anaknya tidur. Kakek tersebut keluar rumah jalan kaki sambil menikmati turunnya hujan.
Sampailah sang kakek di rumah temannya yang dulu pernah menjadi rekan kerjanya. Dengan nada merendah dan suara terbata-bata kakek tersebut berterus terang untuk meminjam sejumlah uang. Uang tersebut rencananya akan digunakan untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk membiaya anak kecilnya yang masih sekolah. Sayangnya temannya tersebut belum mampu untuk membantu sang Kakek. Dengan perasaan kecewa mungkin, namun dalam wajah beliau kuatkan dengan raut wajah tersenyum kakek tersebut mengucapkan terima kasih. Sang kakek berpamitan, berjalan begitu cepat dan masih tetap semangat di bawah rezki air yang Allah turunkan. Setidaknya kakek tersebut telah menunjukkan "ini lho ya Allah, aku nikmati hujanmu dengan tetap berikhtiar demi anakku. Aku keluar dari rumah untuk mencari nafkah, dan ini adalah pilihan terakhir. Namun Engkau telah mengetahui kan Allah, bahwa aku keluar bukan untuk meminta namun untuk untuk meminjam amanah dari orang-orang yang bisa membantuku". Kakek tersebut mungkin akan terus berjalan sampai Allah benar-benar membuktikan kemurahan-Nya. Bisa jadi pula ketika lelah kakek itu akan kembali ke rumah untuk sekedar melenyapkan rasa lelah. Semoga saja di tengah-tengah perjalanan, kakek itu benar-benar mendapat berkah dari turunnya hujan.
Ini adalah peristiwa yang menyentuh hati saya 1 (satu) hari yang lalu dan mungkin disaat itu kita sedang hangat-hangatnya berada di balik selimut. Coba bayangkan jika kita yang menjadi anaknya. Kakek tersebut sudah pulang saat kita masih nyenyak tidur. Di kala bangun dengan ringannya kita minta uang saku untuk beli makanan ringan. Dengan ringannya kita menanyakan makanan apa saja yang bisa dimakan. Dengan mudahnya kita ngambek di saat orang tua tidak bisa memberikan apa yang kita harapkan. Dengan mudahnya kita keluar rumah setelah bangun dari tidur tanpa menanyakan ke orang tua kita apa yang mereka minta. Lantas apakah sempat kita bertanya apa yang mereka lakukan ketika kita tidur siang disaat hujan turun. Atau apa saja yang dilakukan orang tua kita dalam sepertiga malam di saat kita sedang pulas tidur. Jarang sekali dan bahkan tidak pernah sebagian dari kita menanyakan hal-hal tersebut. Di pagi hari uang saku harus ada dikala kita meminta hingga kita lupa untuk minta doa restu dalam bentuk bersalaman. Saat di sekolah kita sudah gregetan untuk marah atau ngambek karena banyak tagihan dari sekolah yang belum bisa dibayarkan orang tua kita. Di kala pulang tanpa mengucapkan salam kita sudah marah karena hal tadi, menanyakan makanan apa sudah siap belum, bagaimana dengan jatah bulanan kita, kapan ayah akan membelikan sepeda motor baru, kapan ayah dan ibu mengajak kita jalan-jalan, kapan aku bisa berangkat sekolah lebih awal tanpa harus jalan kaki dan kehujanan dan kapan kita bisa hidup enak dan nyaman.
Sampai kapan kita akan terus mengeluhkan oran tua kita. Sampai kapan kita akan terus merepotkan mereka berdua. Sampai kapan kita akan terus membebani mereka. Dan ketika mereka sudah tua, kita anggap mereka sebagai beban. Yang mengerikan ada sebagian dari kita mengirimkan orang tua kita yang sudah renta ke panti jompo.
Seperti itukah akhlah kita?
Seperti itukah balasan terhadap orang tua kita?
Akan terus menerus kah kita menjadi beban mereka?
Dan apakah selanjutnya justru kita anggap mereka sebagai beban ketika mereka sudah tidak mampu lagi berjalan?
Sementara jelas dalam Islam, sebesar apapun balasan kita tetap tidak akan pernah setimpal dengan apa yang dilakukan orang tua untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanya berbuat baik (birul walidain) selama mereka hidup dan senantiasa mendoakan di kala mereka sudah meninggalkan kita.
Kain putih apa yang akan terlebih dahulu kita lihat saat orang tua kita memakainya?
Kain putih yang membuat kita menyesal begitu dalam saat kita mengenakan kain kafan ke orang tua kita? Atau
Kain penuh deru air mata kebahagiaan saat melihat mereka mengenakan baju Ihram?
Disela-sela musim hujan ini dan di saat Allah menurunkan air segarnya dari langit, hampir kebanyakan manusia menikmatinya dengan mencari kehangatan di rumahnya atau bahkan tidur nyenyak di sangkar hangatnya. Lain halnya dengan apa yang dilakukan kakek itu yang ternyata masih memiliki tanggungan anak kecil. Secara diam-diam kakek tersebut keluar dari rumah setelah anaknya tidur. Kakek tersebut keluar rumah jalan kaki sambil menikmati turunnya hujan.
Sampailah sang kakek di rumah temannya yang dulu pernah menjadi rekan kerjanya. Dengan nada merendah dan suara terbata-bata kakek tersebut berterus terang untuk meminjam sejumlah uang. Uang tersebut rencananya akan digunakan untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk membiaya anak kecilnya yang masih sekolah. Sayangnya temannya tersebut belum mampu untuk membantu sang Kakek. Dengan perasaan kecewa mungkin, namun dalam wajah beliau kuatkan dengan raut wajah tersenyum kakek tersebut mengucapkan terima kasih. Sang kakek berpamitan, berjalan begitu cepat dan masih tetap semangat di bawah rezki air yang Allah turunkan. Setidaknya kakek tersebut telah menunjukkan "ini lho ya Allah, aku nikmati hujanmu dengan tetap berikhtiar demi anakku. Aku keluar dari rumah untuk mencari nafkah, dan ini adalah pilihan terakhir. Namun Engkau telah mengetahui kan Allah, bahwa aku keluar bukan untuk meminta namun untuk untuk meminjam amanah dari orang-orang yang bisa membantuku". Kakek tersebut mungkin akan terus berjalan sampai Allah benar-benar membuktikan kemurahan-Nya. Bisa jadi pula ketika lelah kakek itu akan kembali ke rumah untuk sekedar melenyapkan rasa lelah. Semoga saja di tengah-tengah perjalanan, kakek itu benar-benar mendapat berkah dari turunnya hujan.
Ini adalah peristiwa yang menyentuh hati saya 1 (satu) hari yang lalu dan mungkin disaat itu kita sedang hangat-hangatnya berada di balik selimut. Coba bayangkan jika kita yang menjadi anaknya. Kakek tersebut sudah pulang saat kita masih nyenyak tidur. Di kala bangun dengan ringannya kita minta uang saku untuk beli makanan ringan. Dengan ringannya kita menanyakan makanan apa saja yang bisa dimakan. Dengan mudahnya kita ngambek di saat orang tua tidak bisa memberikan apa yang kita harapkan. Dengan mudahnya kita keluar rumah setelah bangun dari tidur tanpa menanyakan ke orang tua kita apa yang mereka minta. Lantas apakah sempat kita bertanya apa yang mereka lakukan ketika kita tidur siang disaat hujan turun. Atau apa saja yang dilakukan orang tua kita dalam sepertiga malam di saat kita sedang pulas tidur. Jarang sekali dan bahkan tidak pernah sebagian dari kita menanyakan hal-hal tersebut. Di pagi hari uang saku harus ada dikala kita meminta hingga kita lupa untuk minta doa restu dalam bentuk bersalaman. Saat di sekolah kita sudah gregetan untuk marah atau ngambek karena banyak tagihan dari sekolah yang belum bisa dibayarkan orang tua kita. Di kala pulang tanpa mengucapkan salam kita sudah marah karena hal tadi, menanyakan makanan apa sudah siap belum, bagaimana dengan jatah bulanan kita, kapan ayah akan membelikan sepeda motor baru, kapan ayah dan ibu mengajak kita jalan-jalan, kapan aku bisa berangkat sekolah lebih awal tanpa harus jalan kaki dan kehujanan dan kapan kita bisa hidup enak dan nyaman.
Sampai kapan kita akan terus mengeluhkan oran tua kita. Sampai kapan kita akan terus merepotkan mereka berdua. Sampai kapan kita akan terus membebani mereka. Dan ketika mereka sudah tua, kita anggap mereka sebagai beban. Yang mengerikan ada sebagian dari kita mengirimkan orang tua kita yang sudah renta ke panti jompo.
Seperti itukah akhlah kita?
Seperti itukah balasan terhadap orang tua kita?
Akan terus menerus kah kita menjadi beban mereka?
Dan apakah selanjutnya justru kita anggap mereka sebagai beban ketika mereka sudah tidak mampu lagi berjalan?
Sementara jelas dalam Islam, sebesar apapun balasan kita tetap tidak akan pernah setimpal dengan apa yang dilakukan orang tua untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanya berbuat baik (birul walidain) selama mereka hidup dan senantiasa mendoakan di kala mereka sudah meninggalkan kita.
Kain putih apa yang akan terlebih dahulu kita lihat saat orang tua kita memakainya?
Kain putih yang membuat kita menyesal begitu dalam saat kita mengenakan kain kafan ke orang tua kita? Atau
Kain penuh deru air mata kebahagiaan saat melihat mereka mengenakan baju Ihram?
0 komentar: